KUNINGAN Forwades.com– Menutup lembaran tahun 2025, Kabupaten Kuningan tidak sedang dalam kondisi baik-baik saja. Di balik deretan penghargaan seremonial yang dipajang di kantor pemerintahan, nyatanya suara sumbang dari akar rumput justru kian nyaring. "Kota Kuda" kini dibanjiri bukan hanya oleh debit air hujan yang meluap, melainkan juga oleh gelombang kritik tajam atas kebijakan pemerintah yang dinilai kian menjauh dari keberpihakan pada rakyat dan pelestarian alam.
Slogan "Kuningan Kabupaten Konservasi" kini dipertanyakan keabsahannya. Langkah kontroversial Pemerintah Daerah yang mencabut moratorium pembangunan perumahan di kawasan perkotaan dan penyangga, seperti Kecamatan Cigugur dan Kuningan, dianggap sebagai "blunder" terbesar tahun ini.
Para pemerhati lingkungan dan aktivis menuding pemerintah lebih mementingkan investasi jangka pendek daripada keselamatan ekologis jangka panjang. Akibatnya, kawasan yang seharusnya menjadi daerah tangkapan air kini berganti wajah menjadi deretan beton.
Pembangunan gedung dan kawasan wisata di lereng Gunung Ciremai kian masif tanpa pengawasan ketat.
Risiko Bencana: Hilangnya resapan air secara langsung berdampak pada meningkatnya frekuensi banjir limpasan di wilayah hilir seperti Cijoho dan sekitarnya.
Tata Kelola Air yang "Amburadul"
Krisis air bersih di tengah melimpahnya mata air menjadi paradoks yang menyakitkan bagi warga Kuningan di tahun 2025. Tata kelola air dinilai amburadul dan tebang pilih. Sementara warga di beberapa desa kesulitan mengakses air bersih saat kemarau, eksploitasi air oleh pelaku usaha besar, hotel, dan objek wisata di kawasan Cisantana justru berjalan tanpa audit transparan.
Kritik pedas datang dari berbagai forum masyarakat sipil yang mendesak pemerintah untuk kembali ke mandat UUD 1945—bahwa air harus dikuasai negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, bukan untuk segelintir pengusaha.
Banjir yang menggenangi jalan-jalan protokol setiap kali hujan deras turun menjadi bukti nyata lemahnya sistem drainase. Pembangunan infrastruktur dinilai hanya mengejar formalitas proyek tanpa memperhitungkan kapasitas makro dan mikro saluran air.
"Pemerintah seolah hanya menambal sulam. Drainase diperbaiki, tapi resapan di hulu dirusak. Ini sama saja dengan membuang garam ke laut," ungkap suradi bule salah satu tokoh masyarakat dalam aksi refleksi akhir tahun.
Catatan Merah untuk 2026
Tahun 2025 menjadi pengingat keras bahwa alam tidak bisa dikompromi dengan regulasi yang abu-abu. Jika tata ruang tetap dipaksakan demi kepentingan pemodal dan fungsi konservasi terus digerus, maka bencana ekologis bukan lagi ancaman masa depan, melainkan rutinitas tahunan yang akan terus menghantui rakyat Kuningan. ( gusbur )
